ads

3 "Mimpi sebelum Tanda Jeda"

Tags:

3
Pesan

Meski semalam aku baru bisa tertidur jam dua malam setelah terpaksa harus lembur mendampingi tulisan yang harus segera dikirim. Artikel Koran. NUN. Itulah nama pena yang aku kenakan ketika menulis artikel di Koran. Jam empat malam aku sudah bangun, memanfaatkan shalat tahajud. “Dua jam saja tidurmu hari ini Sekar?” Gumamku sambil menatap cermin.
Gemericik air wudhu memecahkan kesunyian asrama. Sunyi sekali.
Selesai shalat. Aku meletakkan wajahku di atas sajadah. Sepuluh detik aku sudah tertidur. Hanya tidur dua jam saja?
“Mbak Sekar, subuh mbak.” Ujar Susan mengetuk pintu kamar.
Aku bergerak. Telingaku mendengar suara adzan berkumandang.
“Astaghfirullah. Baru berapa detik ane jadi tidur nih?” gumamku. “Iya Susan. Saya segera ke mushola!” Ujarku dengan nada sedikit tinggi.
Aku bergegas mengambil wudhu dan langsung berjalan menuju musholah asrama.
Selesai shalat subuh dan al ma’tsurat. Aku melirik jam di dinding. Jam 5 pagi. Aku mengambil hapeku. Pesan sejak semalam sudah menumpuk, apalagi dari pihak Koran yang terus menagih tulisan artikelku. Namun, aku tak tertarik untuk membalas setiap pesan yang masuk. Aku memilih membuka new letter.
“Assalamu’alaikum, mbak Laras. Afwan pagi ini Sekar tidak bisa mentoring tahfidz, di skip besok ya mbak. ada deadline yang harus dikejar.”
Pesan terkirim.
Lalu, aku bergegas membuka laptopku. Menghidupkannya dan membuka e-mail untuk mengirimkan tulisan yang sudah selesai. NUN. Aku tersenyum ketus.
PARA PENYEMBAH MAKSIAT.
Artikelnya pagi ini membahas tentang gempor-gempor suasana Indonesia yang memprihatinkan. Kondisi anak-anak pribumi yang kering akan moral diri. Kondisi anak-anak pribumi yang terbakar nafsu birahi. Kondisi anak-anak pribumi yang buta pada kegiatan agami. Kondisi anak-anak pribumi yang menjadi penyembah-penyembah maksiat sehingga kehancuran yang siap menanti. TENGIK. Aku mencium aroma anak pribumi begitu tengik. Ntahlah, nasi yang telah basi atau nasi yang telah menjadi bubur. Aku hampir tak bisa membedakannya. Seolah-olah akhlak lenyap dan hancur lebur, akidah bagaikan cairan yang tak tersentuh. MISKIN. Indonesiaku miskin moral. Indonesiaku miskin pengetahuan dan Indonesiaku miskin akhlak dan budi pekerti.
          KLIK!
          Email telah terkirim.
          Drrrtttt….. Drrttt..
          “Assalamu’alaikum, Nduk, hari ini bisa pulang dulu ke rumah? Kamu masuk kuliah masih hari selasa nanti kan?”
          Pesan yang dikirim Bu’e.
          “Wa’alaikummussalam… Nggeh Bu. Inshaallah jam dua siang ini Sekar akan pulang setelah mengurus tulisan di koran selesai.”
          “Bawa sekalian kebayamu yang kemarin habis ibu jahit.”
           “Kebaya? Bu’e meminta saya mengenakan kebaya?” Ujarku kaget sambil mengetik sms yang sama dengan yang kuucapkan.
          “Hanya untuk malam ini saja Nduk. Tamu special akan datang.”
          “Siapa dia?”
          “Nanti setelah kamu di rumah Bu’e akan ceritakan.”
          “Bu’e tahu jawaban apa yang akan Sekar ucapkan untuk yang datang malam ini.” Kataku di dalam pesan.
          Aku menghela nafas.
          Menebak dengan cepat apa yang menjadi maksud Bu’e menyuruhku mengenakan kebaya malam ini.
          “Tapi Bu’e dan Abahmu sudah tidak enak lagi jika terus-terusan menolak. Mau sampai kapan Nduk?”
          “Sekar masih ingin belajar banyak Bu’e, nanti kalau sudah waktunya inshaallah Sekar akan memilih dan menentukan. “
          “Bu’e dan Abahmu nggak enak menolak untuk kali ini. Dia lulusan Belanda. Ia seorang yang berbudi, pandai, tampan dan nigrat.”
          “Bagaimana dengan agamanya? Wah, berarti dia adalah borjuis tulen. Gayanya pasti sudah seperti Meneer Belanda. Penuh keangkuhan, sama seperti tokoh Asyraf dalam buku Lingkar-Lingkar Surga  karya penulis Vita Septi Susanti. Untuk pemuda secerdas bahkan setampan dia, pasti dia sudah punya belahan hatinya sendiri. Mungkin gadis berkulit putih kemana-mana mengenakan pakaian serba minim, menghabiskan waktu untuk bersolek dan jalan-jalan.”
          “Ora pareng menuduh orang sembarangan, Nduk!”
          Aku tak membalas.
          Melihat e-mail sudah terkirim membuatku menjadi lebih lega. Aku berjalan menyedu secangkir kopi pagi itu. Mengaduknya dengan pelan, sebentar-sebentar aku teringat dengan permintaan Bu’e.
          “Masih banyak sekali mimpi yang harus aku wujudkan, Bu.” Gumamku di dalam hati.
          Drrrttt Drrrt
          “Mbak Nun, sudah dengar kabar tentang koran hari ini?”
          Pesan yang dikirimkan oleh Ellena. Salah satu editor tulisan di Koran.
          “Belum. Berita apa, El?” Balasku.
          “Rumor karena Koran kita banyak mencuri perhatian masyarakat karena tulisannya dipercaya, sehingga ada orang besar yang akan membeli perusahaan kita.”
          “Maksudmu piye to El? Pak Sutri bagaimana? Beliau direktur kita loh.” Balasku.
          “Iya. Kali ini Pak Sutri hanya akan manut pada keputusanmu, beliau bimbing setengah mati. Tawaran yang mereka berikan begitu menggiurkan untuk Pak Sutri belum lagi memang beliau sedang butuh materi.” Balas Ellena.
          “Saya? Saya hanya mahasiswa semester tengah yang nggak punya wewenang apa-apa.” Balas saya kaget.
          Drrrtt… Drrttt.
          “Asssalamu’alaikum. Saya Rahmat. Apakah benar ini dengan Mbak Nun?”
Sebuah pesan masuk dikirim oleh nomor yang tidak dikenal.
          “Bisa kita bertemu pagi ini? Hanya ingin berbincang sebentar kebetulan saya calon pembeli perusahan Koran yang sering menampung tulisan-tulisan Anda.”
Pesan baru masuk lagi.
          Alisku naik sebelah ketika membaca pesan tersebut.
          Drrrrttt….Drrrtt..
          “Kamu penyumbang terbesar dalam tulisan Koran kita selama ini, Nun. Kalau kamunya hilang di perusahaan mungkin Koran kita nggak bakal jadi lirikan.” Balas Ellena setelah pesan tak dikenal.
          “Kamu tahu? Sekarang calon pembeli perusahaan sudah menghubungiku dan meminta bertemu. Apa-apaan seperti itu?”
          “Kabarnya dia Sarjana lo, Nun.” Balas Ellena.
          “Lah terus? Kenapa kalau dia sarjana?”
          “Perlu ditemenin nggak untuk bertemu beliau?” Balas Ellena.
          “Sangat perlu.”
Drrrttt… Drrrttt…
          “Bagaimana mbak Nun?”
          Pesan dari calon pembeli perusahaan Koran ada lagi.
          “Baik.” Balasku singkat.
          “Saya tunggu jam 9 pagi di Café Inspiring. Saya mengenakan pakaian putih. See You.”
          Aku mencibir membaca pesannya.
          Setibanya di Café Inspiring, aku yang mengenakan gamis hitam dan kerudung merah marun yang panjang menandakan kebertolakkan antara aku dan calon pembeli perusahaan Koran. Sebelum menemui dia, sempat pak Sutri menghubungiku membicarakan terkait Koran kedepannya. Kali ini Pak Sutri hanya tinggal meminta keputusanku dan sepakat menaikkan harga jual perusahaan.
“Saya membaca di pengkabaran, bahwa Koran kalian mendapatkan sorotan pembaca yang sangat besar dan disebut-sebut sebagai perusahaan yang tangguh meski disergap malaise.” Ujar Lelaki itu membuka pembicaraan.
“Iya, berita yang anda dapatkan benar.” Jawabku singkat sambil memandang meja bundar yang berwarna coklat.
“Saya baru mendapat kabar bahwa perusahaan kalian menaikan harga jual. Akan tetapi, harga yang kami bayarkan adalah harga yang telah disepakati bersama dengan Pak Sutri.”
“Saya tidak mempengaruhi pihak perusahaan Koran, walaupun saya menyayangkan, mengapa Tuan begitu saja membodohi mereka dengan nilai jual yang sangat tidak manusiawi. Bahkan saya melihat kebodohan dari tim kami sengaja dimanfaatkan untuk mengeruk provit yang sebesar-besarnya. Oleh sebab itu, wajar sekali bukan jika kami menaikkan harga jual?”       
“Tentu saja kalian berhak menaikkan harga jual.”
“Jika dihitung keuntungan yang akan kalian dapatkan setelah membeli perusahaan kami. Penawaran kami adalah sebuah kewajaran. Ini harga mati. Jika Anda tidak mau membeli dengan harga yang baru kami tetapkan tidak masalah. Kami bisa menjalankan perusahaan tanpa adanya pemasukan tetap.”
“Anda sama sekali tidak berniat menurunkan penawaran?” Tanya lelaki tersebut.
Aku mengangkat wajahku dan menggeleng dengan tegas. “Sudah kukatakan, ini harga mati.”
Lelaki itu mengganti posisinya, sesekali mengetukkan jemarinya pada permukaan meja.
“Baiklah kalau begitu Nona. Saya sepakat dengan penawaran Anda.”
“Panggil saya Mbak bukan Nona.” Jawabku tegas.
“Hahahaha… Maafkan saya mbak, saya baru beberapa minggu di Indonesia setelah sekian lama saya kuliah di Belanda.”
Deg!
“Belanda?” Gumamku di dalam hati.


         


Baca juga Lanjutan Ceritan dari "Mimpi sebelum Tanda Jeda":

Terbaru dari KAMMI

Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu Image and video hosting by TinyPic