ads

part 4 "Mimpi sebelum Tanda Jeda"

Tags:

4
Pulang

Terik matahari kian terasa membakar permukaan kulit. Membuatnya sedikit matang seperti roti bakar. Motorku masih tangguh untuk menemaniku dalam perjalanan yang panjang. Tanganku memacu gas motor dengan kencang hingga membuat Ellena merasa ketar-ketir dalam perjalanan pulang setelah menemui calon pembeli perusahaan Koran milik Pak Sutri. Alhamdulillah, penawaran harga yang naik disetujui. Aku hanya tak habis pikir akan memiliki atasan baru. Lulusan Belanda?
“Apa kau yakin akan pulang ke Solo dengan naik sepeda motor?” Tanya Ellena.
“Ntahlah. Kalau panas begini saya mending naik Bus saja. Biar nanti setibanya di Terminal Tirtonadi di jemput sama keluarga.”
“Biar tak anter sampe terminal Giwangan ya?”
“Boleh.”
Setibanya di asrama, aku dan Ellena menunaikan shalat Zuhur dan makan siang. Lalu setelah itu bergegas untuk pergi mengantarku ke terminal Giwangan.
“Kemana, Mbak? Pekalongan? Bandung?” Ujar Calo menawarkan bus kepadaku.
Setelah di antar Ellena, aku langsung masuk ke dalam terminal, seraya gula manis yang tercecer, beberapa calo langsung datang menghampiri dan menawarkan bus untuk menemani destinasiku. Aku hanya terus berjalan, menggelengkan kepala tanda tidak. Sesekali aku harus berkata, “Tidak mas. Terima kasih.” Lantaran calo tersebut begitu memaksa agar aku naik bus mereka.
Akhirnya aku bisa bernafas lega. Melirik jam di tangan tepat menunjukkan jam dua siang. Butuh waktu tiga jam untuk sampai di Solo. Lima menit aku duduk di dalam bus, pak sopir langsung mengemudikan busnya meninggalkan area terminal dan memulai destinasi kita. Kali ini penumpang tidak begitu ramai.
Drrrttt….Drrrtttt
Telpon masuk. Bu’e.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikummussalam, sudah berangkat, Nduk?” Tanya Bu’e.
“Alhamdulillah sudah Bu.”
“Nanti kalau sudah dekat Terminal Tirtonadi hubungi Mbak Nani. Biar beliau yang jemput kamu di terminal.”
“Nggeh Bu.”
Telfon terputus.
Selama di dalam bus. Aku teringat bahwa tadi aku membawa buku yang minggu kemarin aku beli dan belum juga khatam membacanya. Sesekali aku memakan roti yang sengaja ku bawa sebagai teman dalam perjalanan. Tak ayal, aku tak bisa berjaga penuh membaca buku, sesekali buku tersebut yang membaca mimik wajahku yang tertidur.
          “Kartasura…Kartasura.” Pekik sang Kernet.
          Aku terbangun.
          Melirik keluar kaca, tampak patung khas Kartasura yang berisikan beberapa pahlawan terlihat oleh kedua mataku. Buru-buru aku mencari ponselku. Menekan nomor Mbak Nani.
          Tuuuuttt Tuuutt…
          “Assalamu’alaikum Mbak Nani…”
          “Wa’alaikummussalam, bagaimana Mbak Sekar?” Jawab Mbak Nani.
          “Bisa jemput saya di Terminal Tirtonadi sekarang? Sebentar lagi saya sampai terminal.”
          “Siap Mbak.”
          “Terima kasih ya Mbak.”
          “Oke Mbak Sekar.”
          Lima belas menit kemudian, akhirnya aku turun dari bus. Menyandang tas ranselku. Melangkah menuju pintu keluar terminal. Mataku menyipit, dari kejauhan aku melihat sosok Mbak Nani sedang duduk di atas motor sambil memegang hape. Buru-buru aku berlari menghampirinya, menyebrang dengan penuh hati-hati. Ketika jarakku hanya beberapa centi, aku kemudian menepuk pundaknya.
          “Assalamu’alaikum.”
          “Wa’alaikummussalam. Mashaallah Mbak Sekar.”
          Kami saling berpelukan.
          “Alhamdulillah akhirnya pulang juga, semenjak Mbak Sekar aktif organisasi, aktif nulis di Koran, dan bedah buku jadi jarang pulang ke rumah. Mbak Nani jadi kangen loh.”
          “Hehehe… Mbak Nani bisa aja. Mbak Nani sehat?”
          “Alhamdulillah Mbak. saya sehat terus, cuma sayangnya saya nggak bisa langsing kayak Mbak Sekar.”
          “Hihihi… kemarin program dietnya bagaimana? Turun berapa kilo?”
          “Turun delapan kilo Mbak.”
          “Mashaallah.”
          “Walah, malah ngobrol kita Mbak. Ayo naik motor. Helmnya mbak.” Ujar Mbak Nani sambil memberikan helm kepadaku.
          Malam harinya, aku hanya menelan ludah. Menyerah pada keadaan. Mengenakan pakaian kebaya ala jawa membuatku memanjangkan kerudungku lebih panjang dari biasanya.
          Lelaki itu menatap sosok yang barusan muncul dari balik pintu dengan takjub. Bayangan sosok wanita Jawa yang malu-malu dengan batik dan kebaya serta kerudung panjang begitu rapi buyar seketika. Nun…..  Wanita itu adalah Nun. Wanita yang tadi pagi ia jumpai untuk membicarakan jual beli perusahaan Koran. Bukankah anak gadis dari keluarga ini bernama Sekar Prembayun.
          Mata Rachmat terbelalak.
          Aku menegakkan wajahku.
          “RACHMAT!”
          Deg!
          Aku tertegun lama. Tak bersuara bahkan tak bergerak. Wajahku berubah dahsyat. Tampak wajah ketidaksukaan terpancar sangat ketara.
          “Ini adalah anak saya Sekar. Dia…” Ucapan Abah terhenti.
          “Maaf Abah, bukankah dia bernama Nun?” Tanya Rachmat.
          “Hihihi… Nun itu nama pena Mbak Sekar kalau lagi nulis di Koran, Mas.” Ujar Mbak Nani membalas pertanyaan Rachmat.
          “Nduk, kamu masih ingat? Dulu waktu kecil kalian sering bermain bersama.” Ujar Abah.
          Aku masih dengan wajah ketidaksukaan.
          “Ternyata, Sekar kecil yang dulunya pemalu sekarang sudah menjadi gadis dewasa.” Ujar Rachmat sambil melempar senyum kepadaku.
          “Ternyata sekian tahun Anda kuliah di Barat merubahmu menjadi pemuda klimis yang pintar merayu para gadis?” Serangku diluar dugaannya.
          Bu’e langsung menutup mulut, kaget betul dengan jawaban yang barusan aku lontarkan.
          “Apa maksud Raden Sekar?” Tanya Rachmat dengan santun.
          “Nduk, jangan begitu dengan calon suamimu.” Ujar Abah.
          “Calon suami?” Pekik Sekar di dalam hati. “Apakah Abah menerima lamaran lelaki borjuis tulen itu? Abah… “ Gumamku di dalam hati.
          “Mohon maaf, Bah. Sekar tidak pernah merasa menerima lamaran Raden Mas Rachmat. Jika Abah dan Bu’e menerima tanpa melibatkan Sekar, Sekar tidak bisa menerima lamaran ini.”
          Rachmat tertegun.
          Abah dan Bu’e pasti malu di depan kedua orang tua Raden Mas Rachmat.
          “Kamu jangan bikin malu Abahmu, Nduk!” Bisik Bu’e di telinga kiriku.
          “Kalau begitu, berbincang-bincanglah dahulu dengannya di temani Mbak Nani disini. Biar kita berbincang-bincang di ruangan lain.” Ujar Abah memberi penawaran.
          “Tidak perlu, Bah. Kita sudah berbicara tadi pagi terkait Koran.” Jawabku tertegun.
          “Kalian sudah bertemu?”
          “Saya tidak tahu kalau Nun itu adalah Sekar, Bah. Kita tadi pagi sempat bertemu membicarakan perusahaan Koran. Saya kebetulan sedang di Yogyakarta.”
          “Lanjutkan saja perbincangannya. Jangan di anggap serius, jika lamaran tak jadi anggap saja ini pertemuan silaturrahim antara dua keluarga yang sudah lama sekali tak bertemu.” Jawab Abah.
          Abah begitu cerdas membalikkan suasana tegang menjadi tenang. Membuat rasa malunya terlempar tak diperlukan. Abah sangat bisa mengatur suasana.
          “Penulis yang bernama Nun Walqolami ternyata dia adalah Sekar Prembayun.” Ujarnya memecahkan kesunyian setelah yang lainnya pindah ke ruangan lain.
          Tinggallah aku, dia dan Mbak Nani.
          Aku diam memasang wajah masam.
          “Terus terang, sebenarnya tulisannya tidak terstruktur, sistematikanya lemah namun ada satu sisi yang mana isinya tajam.”
          Aku diam.
          “Anda tahu penulis Elisabeth Weston. Penulis muda yang sangat produktif.”
          “Iya saya tahu, beberapa tulisannya dimuat oleh Koran daerah Solo.” Jawabku memecahkan bungkamku.
          “Tepat.”
          “Pasti dia orang terpelajar dari kalangan Eropa yang menganut paham liberal. Tampaknya dia pengagum Jhon Locke, Montesqieu ataupun Voltaire, namun pemikirannya juga sedikit dicampuri pemikiran Sosialis-Marxis. Tapi yang jelas dia bukan Calvinist apalagi konservatif. Mungkin dia terinspirasi dari pemikiran elastische gaya Erasmus, John Van Oldenbarneveldt, P.C. Hooft atau yang lainnya.”
Rachmat berdecak kagum. “Sungguh pengetahuan Raden Sekar tentang masalah filsafat benar-benar sangat luas. Saya jadi tertarik untuk berdiskusi dan belajar dengan Raden Sekar. Tapi, salah besar jika anti mengira bahwa beliau orang Eropa. Penulis itupun sama seperti anti, menggunakan nama pena dalam tulisannya. Dia asli Solo juga.”
Aku mengeryitkan kedua alis.
“Pengetahuan saya tidak luas, hanya saja saya teringat dengan novel D’Winst, sebuah novel pembangkit idealisme. Hanya sekedar itu.” Jawabku. “Bagaimana dengan politik menurut anda Raden Mas Rachmat?”
“ Saya tidak mau ikut-ikutan berkecimpung dengan politik.”
Aku mengeryit.
“Sebenarnya, politik itu sendiri adalah bagaimana menjadikan kehidupan itu lebih baik. Termasuk dalam bergerak di bidang ekonomi, kita tak akan bisa terlepas dari politik dan lainnya, satu sama lain saling terikat, karena kehidupan itu sendiri bersifat menyeluruh.”
“Itu ucapan Rangga dalam buku D’Winst.” Gumamku.
“Saya sama seperti Raden Sekar juga suka membaca novel D’Winst.”
Mendadak aku terdiam.
“Boleh aku meminta satu hal? Anggap saja ini sebagai tawaran sebagai teman. Saya akan berteman dengan Raden Mas Rachmat jika berkenan memenuhi permintaan saya.”
Mbak Nani heran dengan permintaanku.
“Apa?”
“Batalkan lamaran Raden Mas Rachmat kepada saya. Maka saya dengan senang hati menjalin pertemanan.”
Deg!
Kekaguman akan Nun dan Sekar yang tergabung dalam satu wujud. Membuatnya menelusuri setiap pemikiran cerdas yang perempuan itu miliki. Perempuan pemberani dan tegas. “Aku berani bertaruh dia bukan perempuan biasa.” Gumam Rachmat di dalam hati. “Barangkali dia perempuan pergerakan yang siap bergerak tanpa di duga-duga dengan pemikirannya.”
“Bagaimana mas?”
“Baiklah.” Jawab Rachmat menelan ludah.


Baca juga Lanjutan Ceritan dari "Mimpi sebelum Tanda Jeda":

Terbaru dari KAMMI

Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu Image and video hosting by TinyPic