Rasanya kita semua mengamini bahwa euforia penggunaan medsos dalam
berbagai peristiwa sosial dan politik di tanah air telah mewarnai alam
demokrasi itu sendiri. Internet misalnya, sebagai new media atau media baru
yang dianggap dan dipelajari oleh para akademisi sebagi platform baru yang di
sebut public sphere atau ruang publik nyatanya tidak lagi mampu menjadi
ruang publik yang demokratis. Ada regulasi yang membatasi. Ada hukum siber, ada
UU ITE yang kini sedang naik daun.
Ada regulasi yang di takuti oleh pengguna medsos. Orang lalu
berpikir jika mau mengekspresikan opininya. UU ITE seolah menjadi bayang-bayang
ketakutan berekspresi di dunia internet.
Mungkin betul juga kata-kata Idi Amin seorang diktator Uganda, “There
is freedom of speech, but i cannot guarantee freedom after speech”.
Kebebasan berbicara atau freedom of speech adalah konsep yang inheren
dengan HAM yang memberikan kebebasan kepada manusia untuk menyampaikan opini
tanpa harus ada ketakutan sensor atau tuntutan dan hukuman karenanya. Pada
perkembangannya memang konsep berbicara tidak bisa di terima oleh semua pihak.
Dengan kata lain, hak berbicara itu tidak absolut. Muncul berbagai syarat atau conditions
yang di berikan oleh pihak-pihak atau institusi terhadap pengguna hak berbicara
tersebut. Pada institusi atau pihak yang otoriter, diktator dan konservatif,
konsep kebebasan berbicara akan ditempeli berbagai syarat atau conditions
tadi. Umumnya kebebasan itu di batasi dengan konsep “pencemaran nama baik” (slander),
“menyebar kebencian” (insult), atau “fitnah” (libel/defamation).
Akhirnya generasi medsos atau generasi milenial di Indonesia hari ini tengah mengalami kegalauan tingkat tinggi mungkin. Media-media
digital yang dikira aman dan lebih bebas untuk berekspresi ternyata tidak lepas
juga dari pengawasan dan kontrol. Begitulah cara kerja pemerintah kita hari
ini.
Alih-alih menggunakan hoax sebagai musuh bersama, rezim saat
ini getol menaik daunkan UU ITE, KUHP antikomunisme yang makin mengeras
dan Dewan Siber sebenarnya akan digunakan untuk menyapu semua suara yang
berbeda dengan rezim Jokowi di ranah maya. Jika tahun 1916 pemerintah kolonial
meluncurkan Politieke Inlichtingen Dienst (PID), maka satu abad kemudian
loyalis Jokowi membuat sesuatu yang seakan-akan melindungi publik, tapi
sesungguhnya melindungi jaket kekuasaan dengan Polisi Sibernya.
Dengan cara seperti ini saya kira perlahan publik akan menganggap
lemahnya wibawa pemerintahan Jokowi. Rakyat akan menganggap pemerintahan Jokowi anti kritik, neo otoriter, salah kaprah dengan demokrasi dan
sebagainya. Sikap loyalis Jokowi yang ingin melindunginya sudah berlebihan dari
sebagai mana mestinya. Pihak yang tidak bisa diajak untuk berkoalisi akan di
tuduh makar satu per satu. Kita bisa lihat sendiri bagaimana polri dengan
membabi buta mentersangkakan tokoh-tokoh sepuh seperti Rachmawati Soekarno
Putri, Kivlan Zen, Adityawarman Thaha dan lainnya. Sebabnya sederhana, karena
Racmawati Soekarno Putri, salah satunya karena putri sang proklamator ini bertemu dengan Habib Rizieq pada tanggal
30 November 2016 lalu. Betapa orang di belakang Jokowi ini sangat alergi dengan
ulama dan demonstrasi.
Sebenarnya pasal tentang makar itu hanya ada di negara-negara yang
totaliter. Karena itu adalah cara untuk mengontrol dan menakut-nakuti rakyatnya
sendiri. Dan pasal tentang makar itu sebenarnya telah di hapus dan sudah di
koreksi dalam konsitusi negara.
Sehingga sedikit-demi sedikit pasal-pasal tentang makar itu hilang. Sebab pasal
ini dulu berasal dari zaman kolonial Belanda. Pasal-pasal ini di sebut pasal
anslakh (cmiiw). Namun
sekarang pasal tentang penghinaan presiden itu tidak berlaku lagi. Kecuali
presiden Jokowi turun sebagai rakyat biasa kemudian dia melaporkannya atas
dasar pencemaran nama baik dan seterusnya.
Di tengah riuhnya negara, malah muncul berita jahannam macam
begini: polri telah menangkap
penulis Jokowi Undercover di akhir tahun lalu dan
meminta masyarakat menyerahkan semua buku yang telah dibeli mereka sebagai
barang bukti. Dan, satu-satunya keterangan yang keluar ke publik adalah suara
polisi. Bahwa penulisnya ngawur, bahwa penulisnya tidak tau bagaimana
menulis yang benar, tidak akademik, intelektualnya relatif kebawah, kemampuan
menulisnya berantakan dan sebagainya. Ini tuduhan yang sungguh menurut saya ngawur.
Yang mengajukan si penulis juga sosok yang namanya tak kalah
gelapnya dalam imaji publik, Hendropriyono. Ketika polisi dan intel berbicara
soal buku, teman-teman tahu sendiri macam apa perkaranya. Menuduh penulis Jokowi
Undercover tidak tahu menulis yang baik, memangnya polisi bisa lebih tinggi
dari segi kemampuan menyusun kata dan kalimat di BAP yang sesuai dengan Ejaan
Bahasa Indonesia yang baik dan benar? Buka BAP dan periksa! (emosi dah)
Tak ada yang baru tuduhan macam begitu kepada penulis. Sama saja
sejak Wimanjaya Keeper Liotohe menerbitkan secara indie bukunya Prima
Dosa: Wimanjaya Rakyat Indonesia Menggugat Imperium Soeharto (1994) yang
diperbanyak dengan fotokopi karena tak ada penerbit yang sudi menerbitkannya,
hingga Membongkar Gurita Cikeas di Balik Skandal Bank Century karya
George Junus Aditjondro pada tahun 2009.
Jangankan Bambang Tri si penulis Jokowi Undercover, doktor
lulusan Cornell seperti Aditjondro saja mudah di tuding sebagai penulis
abal-abal karena menulis jauh dari gaya akademis-intelektual dengan segala
tetek bengeknya itu.
Akhirnya publik pun kemudian diam saja dan tak bisa lagi kritis.
Bahkan untuk suara sumbang kepada si penulis malang yang patah segalanya itu.
Keberaniannya untuk berkoar-koar di media sosial habis sudah tanpa ada dukungan
publik.
Tidak ada jaminan atas opini dan ekspresi yang di tulis dalam
ruang-ruang publik. Beropini di media sosial yang berbeda dari kehendak rezim penguasa akan berhadapan dengan UU ITE, berencana menggelar aksi yang notabene
sangat sah di alam demokrasi siap-siap di tuduh makar, apalagi menulis buku
yang dengan susah payah menyusunnya akan di benturkan dengan pasal-pasal
pencemaran nama baik dan Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Jika ada yang bertanya mengapa ini semua bisa terjadi di Indonesia, saya tidak tahu. Mungkin jawabnya ada diujung
langit.
Oleh: Abdul Rais Kaharuddin
(Manusia dengan serupa tubuhtanpa
rusuk yang lengkap)