Siapa KAMU?
“betapa
banyak insan yang lupa pada daratan, betapa banyak insan yang lupa pada
kenyataan, dari semua kekhilafan, insan itu paling banyak lupa akan kasih
sayang Rabb nya yang telah dititipkan.”
Suasana
rapat tadi membuatku hanya bisa beristirahat dalam 5 menit. Duduk 5 menit. Bernafas
lega 5 menit. Bersujud 5 menit. Memegang mushaf 5 menit. Makan 5 menit. Terbaring
5 menit. Semuanya serba 5 menit. Serasa waktu telah memburuku, berlari
terbirit-birit itulah yang bisa aku
lakukan. Terkadang lisan meronta ingin mengucapkan lelah. Lelah. Lelah. Yah aku
lelah. Namun, ku tahan, tertahan , tahan. Itu semua tak ada hasilnya jika ku
keluarkan. Seraya menyibak dan mengotori sebuah ikhtiar yang tengah
diperjuangkan. Aku tersenyum menatap hamparan sajadah yang terbentang luas.
“Lillah
Sekar. Lillah.” Gumamku seraya menengadah dalam waktu dhuha.
Di masjid
kampus, aku berjalan meletakkan mukenah pada tempatnya. Lalu terduduk pada
dinding masjid. Mengatur nafas yang menderu, membuka catatan kecil yang
bertuliskan “Buku Agenda”. Tanganku membukanya dengan perlahan. Foto Abah dan
Umi tersenyum manis membuka sebongkah semangat yang sempat terkunci.
MIMPI.
“Banyak
cara meraih cita-cita.”
aku
tersenyum.
Lembaran demi
lembaran buku agenda kusibak satu persatu, hingga berhenti pada halaman
terakhir yang penuh dengan coretan.
Drrtt…. Drrrttt…
“Sekar… segera merapat. Syuro akan segera dimulai. Anti
dimana?”
Sebuah pesan
masuk dari Aisyah.
“Iya.” Balasku.
Akupun langsung
bangkit dari tempat dudukku. Memasukkan buku agenda ke dalam tas dengan
terburu-buru lalu pergi meninggalkan masjid. Menuruni anak tangga dengan
berlari kecil.
Tak!
“Seperti ada
yang terjatuh” Gumamku sambil menoleh di sekitar. “Tidak ada.”
Aku kembali
meneruskan perjalanan menuju gedung fakultas Matematika dan Sains. Kebetulan fakultas
itu terletak jauh dari masjid. Lama aku berjalan menuju parkiran motor, ada
sosok lelaki yang sedari tadi memperhatikan gerakku.
TUNGGU.
Aku berhenti
untuk berjalan.
Mataku melirik
ke arah lelaki tersebut tanpa menolehkan kepala dan hanya bermain mata.
Dia juga
tersentak dan berhenti.
Pikiran aneh
menelisik masuk. “Paling orang mau sama-sama ke parkiran.” Gumamku dalam hati. Aku
kembali berjalan, menepis semua pikiran buruk. Mempercepat langkah dari
biasanya.
Namun…
Orang itu
juga mempercepat langkahnya. Berjarak 20 meter. Aku masih bisa merasakan
atmosfer yang tidak enak. Masalahnya ini adalah laki-laki. Siapa dia? Siapa? Belum
juga sampai di parkiran aku langsung berlari terbirit. “Ya Allah…”
Dag Dig
Dug…
Orang
itupun berlari.
“Allah…”
Jeritku di dalam hati.
Seketika aku
terus berlari kencang dengan kondisi hati yang berdegup kencang lantaran
khawatir. Mencari satpam yang biasa siaga di daerah parkiran. Namun, seragam
abu-abu ataupun putihnya tak juga lekas nampak dalam penglihatanku.
Aku mendesah.
Tanganku merogoh kantung di jaketku, mencari kunci motor sambil berlari. Setelah
dapat, aku langsung menghidupkan motor dan pergi meninggalkan area masjid.
Berjarak beberapa
meter, aku masih bisa mengatur kecemasan yang tadi melanda. Namun apa yang
terjadi, di kaca motorku melukiskan sosok lelaki yang mengikuti.
“Allah.” Jeritku
dalam hati.
Tanganku langsung
menarik gas motor dengan cepat. Begitu juga lelaki itu.
HEY…
SIAPA KAMU?
“Sekar,
ingat kejadian mahasiswa yang ditemukan di kamar mandi?WAHAHAHA… “
Mataku melotot.
“Mau apa
itu orang ha? Ngikutin gua lu?” Gumamku merasakan kecemasan yang tak karuan.
Motor tetap
melaju kencang menuju fakultas Matematika dan Sains.
Terasa lonjakan
yang begitu tinggi lantaran aku melewati polisi tidur tanpa mengerem atau
mengurangi kecepatan. Braaakkk! Sesekali motorku menggesek bagian
permukaan polisi tidur. Aku hanya menutup mata dan mengucap istighfar.
Alhamdulillah
fakultas Matematika dan Sains sudah di depan mata. Aku langsung memarkirkan
motorku. Melepas helm dan mengunci stang. Namun, orang itu masih sibuk
memarkirkan motornya di tempat yang sama.
Aku kembali
mempercepat langkahku.
“Apa ane
pergoki saja ya? Tinggal bilang. “Eh mas, kenapa dari tadi ngikutin ane?” ehh…
GR kali jadi akhwat. Sekar, Sekar. Laluuuu…” gumamku.
Aku kembali
melirik. Orang itu masih saja mengikutiku.
Wajahku masam.
“Apa aku langsung bilang? Siapa kamu? Ada masalah apa?”gumamku. “Begitukah?”
lanjutku.
Aku menjadi
geram lantaran rasa khawatir di dalam dada begitu memuncak.
“Kalau
aku di cekik, dipukul dan di apa-apakan bagaimana?” gumamku dalam hati. “Cari
orang banyak, dia nggak bakal berani ngapa-ngapain kalau banyak orang.” Gumamku
lagi.
Aku langsung
mencari jalan yang ramai biasa anak teknik industri berkumpul.
Tanpa aku
sadari, tepat di depan kumpulan anak teknik industry lelaki yang tadi mengikuti
sejak dari masjid sudah berada 2 meter di belakangku.
Aku langsung
membalikkan badan dan berkata dengan nada kencang, “Maaf mas, dari tadi saya
perhatikan anda mengikuti saya. Jujur saya merasa risih. Ada apa? Mas perampok?
Atau penculik?” ujarku dengan nada tinggi namun terdengar bergetar lantaran
gugup setengah mati.
Lelaki itu
terhenti dari langkahnya.
Aku hanya
berani menatap rambutnya.
“Ekhhmmm….”
Ujarnya bersuara, lalu tangannya mencari sesuatu di saku jaketnya.
“Allah…
apa dia mau mengeluarkan benda tajam lalu melakukan tindakan criminal. Ya Allah…
Ya Allah…” jeritku di dalam hati.
Seketika aku
langsung berlari terbirit-birit meninggalkan lelaki tersebut. Kencang sekali.
Lelaki itupun
mengikuti dengan berlari.
ALLAH….
Jantungku
serasa ingin copot.
Lisanku mengucapkan
“A’uudzu bikalimaatillaahit-taammaati ming syarri maa kholaq.”
“Mbak!!!”
Pekik lelaki itu.
“Kalau
dia penjahat kok manggil ane? Kok nggak langsung di tangkep , dipukul atau
gimana?” Gumamku heran.
Lalu aku berhenti.
“Maaf,
mbak ini aneh sekali. Sedari tadi saya berusaha mendekati mbak, tapi mbak
seperti takut jika saya dekati. Saya hanya ingin memberikan ini.” Ujarnya
sambil mengulurkan sebuah handphone berwarna hitam.
Mataku
terperangah kaget. Ponselku berada di tangannya.
“Ini saya
temukan tepat saat mbak melintas di depan saya, tadi mbak kurang tepat
memasukkan handphone ke dalam tas, lalu handphone ini terjatuh tanpa mbak
sadari. Saya langsung mengambil handphone, karena saat di masjid saya ragu
apakah mbak pemilik handphone tadi atau bukan, saya berusaha mendekati mbak untuk
memastikan, namun mbak malah menghindar terus.” Ujarnya dengan nafas
terengah-engah. “Ini silahkan di ambil handphonenya mbak.” Lanjutnya sambil
mengulurkan handphone.
Deg!
“Orang
baik seperti ini kau kira penjahat, Sekar?” Bisik hatiku.
“Terima
kasih banyak mas. Maafkan saya karena…” belum sempat aku menyelesaikan apa yang
ingin kukatakan ia langsung menyeka dengan nafas yang menderu “Sama-sama mbak,
saya permisi dulu. Ada kegiatan yang sedang menantikan saya.” Ujarnya sambil
berbalik badan dan melangkah dengan cepat.
Tepat sebelum
ia keluar fakultas “MAS, NAMANYA SIAPA?” Pekikku dengan suara tinggi.
Lelaki itu
terhenti sejenak “Abdullah.”
“Abdullah.” Ujarku mengulangi ucapaknanya.
Allah…
Sekar…
Sekar…